Tawakkal dan Usaha
Tawakkal dan Usaha Manusia Perintah bertawakkal bukannya menganjurkan agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum “sebab-akibat”. Tidak! Bertawakkal ialah menjadikan Allah sebagai wakil, sehingga mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini, sebagaimana dia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha sambil berdoa dan setelah itu ia dituntut lagi untuk berserah diri kepada Allah. Ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya, sebagaimana kehendak dan ketetapan Allah. Anda harus berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan, disertai dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu. Tetapi, jangan ketika anda gagal meraihnya, anda meronta atau berputus asa serta melupakan anugerah Tuhan yang selama ini telah anda capai. Tawakkal adalah buah iman kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena itu kesempurnaan iman ditandai oleh tawakkal. Dalam Surah Al-Mâidah [5]: 23 yang penulis kutip di atas, jelas sekali keterkaitan antara iman dan tawakkal dalam firman-Nya: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang-orang mukmin”. Demikian juga firman-Nya dalam Surah Yûnus [10]: 84. Di sana Allah mengabadikan ucapan Nabi Musa As. yang berkata kepada kaumnya: إِنْ كُنْتُمْ ءَامَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ "Jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." Ada dua peristiwa yang dialami Nabi Muhammad Saw. bersama Sayyidina Abu Bakar Ra. yang dapat menjadi penjelasan yang sangat gamblang tentang usaha dan tawakkal, dan tempatnya masing-masing. Yakni, peristiwa hijrah dan peristiwa perang Badr. Dalam peristiwa hijrah ketika Nabi Saw. bersama Sayyidina Abubakar berada dalam gua, di mana saat itu juga sekelompok kaum musyrik yang mengejar mereka telah berada di mulut gua, ketika itu Sayyidina Abu Bakar sangat gelisah, namun Nabi Saw. sangat tenang. Beliau bersabda menenangkan sahabatnya, sebagaimana diabadikan al-Qur'an: “Jangan bersedih (dan jangan takut) sesungguhnya Allah bersama kita". Demikian dalam peristiwa hijrah, tetapi dalam peristiwa perang Badr, keadaan Nabi dan sahabat beliau itu bertolak belakang. Di sana Nabi Saw. sangat gelisah, berdoa dan berdoa, sampai-sampai terjatuh sorban beliau. Namun, Abu Bakar Ra. tampil tenang dan menenangkan beliau, bahkan menganjurkan untuk berhenti berdoa. Dua sikap Nabi Saw. yang berbeda itu adalah sikap yang diajarkannya, sebaliknya tanpa mengurangi sedikitpun penghargaan kepada sahabat Nabi yang agung Sayyidina Abu Bakar Ra. atau mengurangi jasa-jasa beliau, kita berkata bahwa sikap Sayyidina Abubakar itu adalah sikap yang kurang tepat. Dalam peristiwa hijrah di mana mereka berada dalam gua, maka ketika itu tidak ada lagi usaha yang dapat mereka lakukan -- setelah sebelumnya melakukan segala yang dapat mereka lakukan -- seperti perencanaan yang matang, penelusuran jalur menuju Madinah yang tidak biasa ditempuh, penyiapan kendaraan dan tenaga penunjuk jalan (informan), penyiapan konsumsi, dan sebagainya. Sehingga, ketika tidak ada usaha lagi, maka di sanalah tempat berserah, sambil meyakini bahwa apapun yang terjadi, maka Dia yang menjadi "wakil" akan bertindak dengan tindakan yang terbaik. Seandainya yang terjadi ketika itu adalah penangkapan bahkan pembunuhan mereka, maka itulah pilihan terbaik.
salam Imtihan buat sahabat-sahabat yang sedang menghadapi peperiksaan..samada di Maghribi,Mesir,Syiria,Jorden,Yeman,Saudi Arabia dan semua sekali..mudahan selepas kita berusaha maka kite haruslah bertawakkal kepada Allah..sesungguhnya Allah maha Adil..
salam Imtihan : Muhammad Iskandar Shah Bin Ab Ahmid Assyafie Univeristy Of Ibn Tofail Kenitra,Maghribi
|